Sebelum memulai tulisan ini, saya
perlu menekankan bahwa tulisan ini murni adalah pendapat pribadi berdasarkan
pengamatan pribadi pula terkait fenomena generasi muda Indonesia dalam meraih
puncak karir. Karir dalam hal ini adalah suatu profesi yang dilakoni seorang
insan manusia dimana tinggi rendahnya karir seseorang bergantung pada besar
kecilnya pengaruh yang dimiliki
jabatannya pada organisasi tempat dia bekerja.
Tiga Tipe Generasi Y Yang Lagi
Hype
Secara garis besar ada tiga jenis
fenomena yang menarik untuk
diperhatikan, yakni :
1. Mendirikan start up
2. Mengambil beasiswa luar negeri (mis :
LPDP)
3. Merintis karir konvensional
Sebelum kita masuk pada
perbandingan ketiga fenomena ini, sebelumnya saya perlu membagi fenomena kedua
(beswan LPDP) ke dalam 2 kategori. Sebut saja beswan tipe A dan beswan tipe B.
Dua Tipe Beswan Generasi Y
Tipe pertama adalah mereka yang
kuliah di luar negeri lebih karena rasa cinta pada ilmu yang ingin mereka
dalami. Dan yang kedua adalah mereka yang ingin mendapatkan penghargaan lebih
karena menganggap ijazah dari luar negeri sebagai salah satu cara meningkatkan
nilai dirinya dimata orang lain dan di pasar tenaga kerja. Tapi, pembagian ini
tidak bisa dilihat secara dikotomi karena kedua alasan tersebut biasanya ada dalam setiap diri beswan namun
dengan kadar yang berbeda.
Berikut adalah beberapa perbedaan
antara tipe A dan tipe B. Pertama beswan tipe A umumnya mengambil beasiswa
setelah bekerja beberapa tahun dan memutuskan mengambil beasiswa agar lebih
cepat mendaki tangga karir. Beswan tipe ini umumnya punya ekspektasi yang
sangat tinggi untuk dipromosikan oleh perusahaannya sekembalinya dari
menyelesaikan studi. Jika sudah bekerja di perusahaan atau organisasi yang
cukup bonafit, beswan tipe ini acap kali lebih memilih cuti tanpa dibayar
daripada mengundurkan diri. Beswan tipe
A inilah yang selanjutnya akan dibahas dan dibandingkan dengan pendiri start up
dan perintis karir konvensional.
Berbeda dari beswan tipe A,
beswan tipe B umumnya langsung melanjutkan kuliah setelah menyelesaikan studi
S1. Kalau pun mereka sudah bekerja sebelumnya, beswan tipe ini lebih memilih
mengundurkan diri dari perusahaan lamanya. Agar kelak, mereka dapat mencari
pekerjaan yang dimana mereka mampu mengaplikasikan bidang ilmu yang mereka
pelajari. Para beswan yang memilih karir sebagai pengajar juga dikategorikan
dalam tipe ini. Beswan tipe ini akan saya keluarkan dari pembahasan berikutnya.
Sesaat Setelah Mengambil Pilihan
Jika anda bertemu dengan anak
muda yang memilih untuk mendirikan start-up, entah itu yang memulai start up langsung setelah lulus
kuliah S1 atau yang bekerja terlebih dahulu, anda akan menemukan semangat muda
yang menggebu-gebu di dalam diri mereka. Kental dengan nuansa narsistik, mereka
akan langsung berbicara tentang ide-ide besar seakan-akan hanya mereka lah,
sebagai “sang anak terpilih”, yang mampu menyelesaikannya.
Nuansa narsistik itu tetap akan
nada rasakan ketika anda berbicara dengan para beswan LPDP tipe A yang akan
berangkat bulan depan ke Inggris atau Amerika. Namun, meskipun mereka terbukti
punya kemampuan untuk bisa diterima sebagai mahasiswa di universitas ternama
dunia, anda akan tetap dapat meraba kerendahan hati dalam penggambaran diri
mereka.
Berbeda dengan kedua kelompok
diatas, para perintis karir konvensional tampak lebih objektif dalam menilai
diri mereka. Mereka sadar bahwa masih banyak pengalaman yang perlu mereka
dapatkan untuk dapat seperti role model mereka
(yang kebanyakan adalah para petinggi di perusahaan tempat mereka
bekerja atau para teknokrat di perusahaan besar lain). Namun sebagaimana
generasi milenial kebanyakan, mereka juga tetap punya kepercayaan diri yang
tinggi.
Ketiganya Setelah Beberapa Tahun
Kemudian
Beswan tipe A adalah tipe yang
akan mengalami lonjakan kepercayaan diri yang paling besar setelah
menyelesaikan pendidikan mereka di luar negeri. Hal ini akan membawa
permasalahan tersendiri bagi mereka, khususnya yang mengambil pilihan “leave
without pay” atau cuti sementara dari perusahaan. Sekembalinya dari studi,
mereka berharap akan ditempatkan di posisi yang sama sebelum mereka pergi atau
mungkin di posisi baru yang lebih sesuai dengan pendidikan mereka dan tentunya
dengan harapan posisi tersebut memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari posisi
mereka sebelumnya.
Hal ini akan menjadi masalah
dikarenaka perusahaan tidak akan mungkin membiarkan suatu posisi kosong selama
dua tahun jikalau memang posisi tersebut sangat dibutuhkan untuk diisi. Kedua,
kalaupun mereka ingin posisi baru yang sesuai dengan pendidikan mereka, posisi
itu belum tentu ada. Selain karena perusahaan tidak akan mengubah struktur
organisasi berdasarkan kepentingan individu, namun juga ilmu yang dia pelajari
di luar negeri belum tentu dibutuhkan oleh perusahaannya.
Bagi mereka yang mengambil kuliah
dengan mengundurkan diri sebelumnya dari perusahaan mereka, masalah ini menjadi
jauh lebih sederhana. Mereka akan
mencari pekerjaan yang akan menawarkan jabatan yang sesuai dengan ilmu yang mereka
sudah pelajari selama di luar negeri. Namun, hal ini juga tidak mudah,
dikarenakan perusahaan di Indonesia yang memiliki R&D yang cukup kuat untuk
memiliki kebutuhan akan pekerja dengan tingkat pendidikan tinggi, jumlahnya
tidak sebanyak itu.
Beberapa dari lulusan luar negeri
ini harus mampu menghadapi kenyataan bahwa dua tahun yang mereka habiskan
disana tidak serta merta akan memberikan peningkatan pendapatan. Tentu saja
tidak semua beswan akan berakhir demikian, beberapa tentunya akan dihargai lebih
tinggi di pasar tenaga kerja dalam
negeri jika memang ada kebutuhan. Beberapa lagi akan mendapatkan peningkatan
pendapatan yang cukup signifikan dengan memilih bekerja di luar negeri.
Di lain pihak, para pendiri
start-up setelah dua tahun akan merasakan pengalaman pahit yang luar biasa.
Mulai dari kehabisan modal, sulitnya mencari investor hingga cashflow yang naik
turun dikarenakan persaingan yang juga cukup berat. Beberapa dari start-up ini
bisa jadi akan melejit dengan berhasil menggaet investor jutaan dollar, namun
jumlahnya tentu tidak sebanyak start-up yang gagal atau yang berjalan
terengah-engah. Beberapa pendiri
start-up yang menyerah akan kembali mencari kerja dan akan memulai hidup baru
sebagai profesional. Sebagai
profesional, tentunya para bekas pendiri start up ini harus rela berada di
lantai dasar tangga karir.
Para peniti karir konvensional
bisa dibilang akan jauh lebih bahagia setelah beberapa tahun dibandingkan
generasi Y kebanyakan. Mereka kebanyakan sudah menikah, mencicil rumah dan mobil.
Pengalaman kerja mereka sudah menempatkan mereka sebagai senior dalam struktur
jabatan di perusahaan mereka. Pendapatan mereka meskipun tidak eksponensial,
namun jumlahnya meningkat setiap tahunnya.
Bagi yang memiliki kinerja diatas
rata-rata, mereka mungkin sudah menempati jabatan struktural dengan beberapa
bawahan. Namun, sesekali mereka juga “mengintip” media sosial rekan kerja
mereka yang sukses membangun start-up atau berhasil bekerja di luar negeri
setelah menyelesaikan pendidikan disana. Tidak bisa dipungkiri mereka akan
menceritakan keinginan mereka untuk mengikuti jejak rekan-rekannya itu pada
istri mereka di rumah, namun mengurungkan niat karena banyaknya cicilan yang
mereka sudah ambil.
Ketiga pilihan diatas memiliki
tingkat resiko yang berbeda dan tentunya menjanjikan tingkat kesuksesan yang
berbeda pula. Yang penting untuk diperhatikan adalah untuk selalu memahami
resiko yang diambil dan tidak serta merta meletakkan ekspektasi
berlebihan. Demikianlah tulisan singkat
ini saya buat dengan analisa yang sekedarnya. Saya harap tulisan ini perlu
dibaca oleh para generasi muda Indonesia agar lebih siap mental menghadapi
kondisi terburuk dari pilihan yang mereka ambil.