Minggu, 04 Desember 2016

Antara Pendiri Start-up, Beswan (Penerima Beasiswa) LPDP dan Perintis Karir Konvensional

Sebelum memulai tulisan ini, saya perlu menekankan bahwa tulisan ini murni adalah pendapat pribadi berdasarkan pengamatan pribadi pula terkait fenomena generasi muda Indonesia dalam meraih puncak karir. Karir dalam hal ini adalah suatu profesi yang dilakoni seorang insan manusia dimana tinggi rendahnya karir seseorang bergantung pada besar kecilnya  pengaruh yang dimiliki jabatannya pada organisasi tempat dia bekerja.

Tiga Tipe Generasi Y Yang Lagi Hype
Secara garis besar ada tiga jenis fenomena  yang menarik untuk diperhatikan, yakni :
1.       Mendirikan start up
2.       Mengambil beasiswa luar negeri (mis : LPDP)
3.       Merintis karir konvensional
Sebelum kita masuk pada perbandingan ketiga fenomena ini, sebelumnya saya perlu membagi fenomena kedua (beswan LPDP) ke dalam 2 kategori. Sebut saja beswan tipe A dan beswan tipe B.
  
Dua Tipe Beswan Generasi Y
Tipe pertama adalah mereka yang kuliah di luar negeri lebih karena rasa cinta pada ilmu yang ingin mereka dalami. Dan yang kedua adalah mereka yang ingin mendapatkan penghargaan lebih karena menganggap ijazah dari luar negeri sebagai salah satu cara meningkatkan nilai dirinya dimata orang lain dan di pasar tenaga kerja. Tapi, pembagian ini tidak bisa dilihat secara dikotomi karena kedua alasan tersebut  biasanya ada dalam setiap diri beswan namun dengan kadar yang berbeda.

Berikut adalah beberapa perbedaan antara tipe A dan tipe B. Pertama beswan tipe A umumnya mengambil beasiswa setelah bekerja beberapa tahun dan memutuskan mengambil beasiswa agar lebih cepat mendaki tangga karir. Beswan tipe ini umumnya punya ekspektasi yang sangat tinggi untuk dipromosikan oleh perusahaannya sekembalinya dari menyelesaikan studi. Jika sudah bekerja di perusahaan atau organisasi yang cukup bonafit, beswan tipe ini acap kali lebih memilih cuti tanpa dibayar daripada mengundurkan diri.  Beswan tipe A inilah yang selanjutnya akan dibahas dan dibandingkan dengan pendiri start up dan perintis karir konvensional.

Berbeda dari beswan tipe A, beswan tipe B umumnya langsung melanjutkan kuliah setelah menyelesaikan studi S1. Kalau pun mereka sudah bekerja sebelumnya, beswan tipe ini lebih memilih mengundurkan diri dari perusahaan lamanya. Agar kelak, mereka dapat mencari pekerjaan yang dimana mereka mampu mengaplikasikan bidang ilmu yang mereka pelajari. Para beswan yang memilih karir sebagai pengajar juga dikategorikan dalam tipe ini. Beswan tipe ini akan saya keluarkan dari pembahasan berikutnya.

Sesaat Setelah Mengambil Pilihan
Jika anda bertemu dengan anak muda yang memilih untuk mendirikan start-up, entah itu yang  memulai start up langsung setelah lulus kuliah S1 atau yang bekerja terlebih dahulu, anda akan menemukan semangat muda yang menggebu-gebu di dalam diri mereka. Kental dengan nuansa narsistik, mereka akan langsung berbicara tentang ide-ide besar seakan-akan hanya mereka lah, sebagai “sang anak terpilih”, yang mampu menyelesaikannya.

Nuansa narsistik itu tetap akan nada rasakan ketika anda berbicara dengan para beswan LPDP tipe A yang akan berangkat bulan depan ke Inggris atau Amerika. Namun, meskipun mereka terbukti punya kemampuan untuk bisa diterima sebagai mahasiswa di universitas ternama dunia, anda akan tetap dapat meraba kerendahan hati dalam penggambaran diri mereka.

Berbeda dengan kedua kelompok diatas, para perintis karir konvensional tampak lebih objektif dalam menilai diri mereka. Mereka sadar bahwa masih banyak pengalaman yang perlu mereka dapatkan untuk dapat seperti role model mereka  (yang kebanyakan adalah para petinggi di perusahaan tempat mereka bekerja atau para teknokrat di perusahaan besar lain). Namun sebagaimana generasi milenial kebanyakan, mereka juga tetap punya kepercayaan diri yang tinggi.
 

Ketiganya Setelah Beberapa Tahun Kemudian
Beswan tipe A adalah tipe yang akan mengalami lonjakan kepercayaan diri yang paling besar setelah menyelesaikan pendidikan mereka di luar negeri. Hal ini akan membawa permasalahan tersendiri bagi mereka, khususnya yang mengambil pilihan “leave without pay” atau cuti sementara dari perusahaan. Sekembalinya dari studi, mereka berharap akan ditempatkan di posisi yang sama sebelum mereka pergi atau mungkin di posisi baru yang lebih sesuai dengan pendidikan mereka dan tentunya dengan harapan posisi tersebut memiliki tingkatan yang lebih tinggi dari posisi mereka sebelumnya.

Hal ini akan menjadi masalah dikarenaka perusahaan tidak akan mungkin membiarkan suatu posisi kosong selama dua tahun jikalau memang posisi tersebut sangat dibutuhkan untuk diisi. Kedua, kalaupun mereka ingin posisi baru yang sesuai dengan pendidikan mereka, posisi itu belum tentu ada. Selain karena perusahaan tidak akan mengubah struktur organisasi berdasarkan kepentingan individu, namun juga ilmu yang dia pelajari di luar negeri belum tentu dibutuhkan oleh perusahaannya.
Bagi mereka yang mengambil kuliah dengan mengundurkan diri sebelumnya dari perusahaan mereka, masalah ini menjadi jauh  lebih sederhana. Mereka akan mencari pekerjaan yang akan menawarkan jabatan yang sesuai dengan ilmu yang mereka sudah pelajari selama di luar negeri. Namun, hal ini juga tidak mudah, dikarenakan perusahaan di Indonesia yang memiliki R&D yang cukup kuat untuk memiliki kebutuhan akan pekerja dengan tingkat pendidikan tinggi, jumlahnya tidak sebanyak itu.

Beberapa dari lulusan luar negeri ini harus mampu menghadapi kenyataan bahwa dua tahun yang mereka habiskan disana tidak serta merta akan memberikan peningkatan pendapatan. Tentu saja tidak semua beswan akan berakhir demikian, beberapa tentunya akan dihargai lebih tinggi di pasar tenaga kerja  dalam negeri jika memang ada kebutuhan. Beberapa lagi akan mendapatkan peningkatan pendapatan yang cukup signifikan dengan memilih bekerja di luar negeri.

Di lain pihak, para pendiri start-up setelah dua tahun akan merasakan pengalaman pahit yang luar biasa. Mulai dari kehabisan modal, sulitnya mencari investor hingga cashflow yang naik turun dikarenakan persaingan yang juga cukup berat. Beberapa dari start-up ini bisa jadi akan melejit dengan berhasil menggaet investor jutaan dollar, namun jumlahnya tentu tidak sebanyak start-up yang gagal atau yang berjalan terengah-engah.  Beberapa pendiri start-up yang menyerah akan kembali mencari kerja dan akan memulai hidup baru sebagai profesional.  Sebagai profesional, tentunya para bekas pendiri start up ini harus rela berada di lantai dasar tangga karir.

Para peniti karir konvensional bisa dibilang akan jauh lebih bahagia setelah beberapa tahun dibandingkan generasi Y kebanyakan. Mereka kebanyakan sudah menikah, mencicil rumah dan mobil. Pengalaman kerja mereka sudah menempatkan mereka sebagai senior dalam struktur jabatan di perusahaan mereka. Pendapatan mereka meskipun tidak eksponensial, namun jumlahnya meningkat setiap tahunnya.

Bagi yang memiliki kinerja diatas rata-rata, mereka mungkin sudah menempati jabatan struktural dengan beberapa bawahan. Namun, sesekali mereka juga “mengintip” media sosial rekan kerja mereka yang sukses membangun start-up atau berhasil bekerja di luar negeri setelah menyelesaikan pendidikan disana. Tidak bisa dipungkiri mereka akan menceritakan keinginan mereka untuk mengikuti jejak rekan-rekannya itu pada istri mereka di rumah, namun mengurungkan niat karena banyaknya cicilan yang mereka sudah ambil.

Ketiga pilihan diatas memiliki tingkat resiko yang berbeda dan tentunya menjanjikan tingkat kesuksesan yang berbeda pula. Yang penting untuk diperhatikan adalah untuk selalu memahami resiko yang diambil dan tidak serta merta meletakkan ekspektasi berlebihan.  Demikianlah tulisan singkat ini saya buat dengan analisa yang sekedarnya. Saya harap tulisan ini perlu dibaca oleh para generasi muda Indonesia agar lebih siap mental menghadapi kondisi terburuk dari pilihan yang mereka ambil.