Selasa, 13 Agustus 2013

Merry Riana, Mimpi Sejuta Dolar

Lari ke Singapura saat kerusuhan Mei ’98, Merry Riana (31) harus berjuang keras menghidupi dirinya di negeri orang. Hebatnya, perempuan kelahiran 29 Mei 1980 ini pun berhasil mengumpulkan 1 juta dolar Singapura di usia 26 tahun. Mari mengenal lebih jauh sosok inspiratif ini.
Apa kabar, sedang sibuk apa?
Mempromosikan buku ke-2 saya, Mimpi Sejuta Dolar (MSD) yang dibuat untuk menginspirasi banyak orang. Karena banyak yang penasaran soal detail perjalanan hidup saya dari nol di Singapura. Puji syukur, sambutannya sangat luar biasa.
Kabarnya lulus SMU langsung ‘kabur’ ke Singapura?
Tadinya, saya ingin kuliah di Universitas Trisakti Jakarta. Suatu pagi saya ambil formulir pendaftaran, lalu sorenya terjadi tragedi Trisakti disusul kerusuhan Mei ’98 yang melanda Jakarta. Karena kondisinya tidak kondusif, saya diungsikan ke Singapura. Saya berangkat berbekal uang seadanya, beras, gula, kompor, komputer, dan buku wasiat dari Mama yang isinya doa serta kata-kata mutiara.
Ketika itu Pemerintah Singapura sedang ada program pemberian bantuan dana untuk kuliah. Maka, saya pinjam uang ke pemerintah dan mendaftar di S-1 Teknik Elektro Nanyang Technological University. Kuliah saya memang dibiayai hingga lulus, tapi setelah lulus saya wajib membayar seluruh utang tersebut. Tiap enam bulan saya diberi 1.800 dolar Singapura. Sebulan hanya punya 300 dolar Singapura untuk biaya asrama, makan, transportasi, dan kebutuhan kuliah.
Bagaimana caranya ­bertahan hidup?
Baru kuliah saja, saya sudah sedih. Tinggal sendirian terpisah dari orangtua, sanak saudara juga tak punya. Saya cemas keadaan mereka di Jakarta pascakerusuhan. Yang paling tak enak, apalagi kalau bukan masalah finansial. Bayangkan, saya hanya punya 10 dolar Singapura dalam seminggu, artinya hanya Rp 10 ribu per hari. Demi mengirit, saya sering puasa. Kalau lapar hanya makan mi instan dan beli roti tawar yang murah dan bikin kenyang. Saya juga rajin datang ke seminar atau orientasi mahasiswa baru supaya bisa makan-makan gratis. Tapi meski prihatin, saya tak pernah jujur kepada orangtua. Kalau ditelepon, selalu bilang baik-baik saja. Agar mereka tak khawatir karena masih ada dua adik yang sekolah. Begitulah saya melewati tahun pertama kuliah.
Sempat saya kesal dan frustrasi. Sudah jauh-jauh hidup di negeri orang, tapi tak bisa makan enak seperti teman-teman sebaya. Bahkan, saya sering makan bekal di toilet perempuan karena malu. Itu masa-masa paling memilukan dalam hidup saya. Dari situ, di ulang tahun ke-20 saya punya resolusi. “Sebelum umur 30 tahun saya harus punya kebebasan finansial!” Jika saya pulang ke Indonesia, saya harus kembali sebagai orang sukses. Meski seperti mimpi, tapi harapan saya begitu besar.
Lalu?
Saya kerja part time mulai dari bagi-bagi brosur di jalan, penjaga toko bunga, hingga pelayan restoran. Karena hanya punya ID card student pass dan di bawah umur, upah maksimal hanya 5 dolar Singapura per jam. Tahun ketiga kuliah, saya magang di perusahaan Singapura. Gajinya lumayan, 750 dolar Singapura per bulan. Semangat kerja pertama kali begitu membara. Baru dua bulan berjalan, saya malah tersadar kalau kerja sama orang terus, kapan impian saya tercapai?
Gaji bulanan dipotong pajak dan biaya hidup, sisanya hanya cukup untuk bayar utang biaya kuliah yang jumlahnya 40 ribu dolar Singapura (Rp 300 juta-an). Itupun baru bisa lunas dalam 10 tahun dan saya tak punya tabungan. Maka saya putuskan untuk punya bisnis sendiri meski tanpa modal dan pengetahuan.
Seperti apa awalnya?
Saya terima ajakan teman berbisnis Multi Level Marketing (MLM). Setelah bayar investasi 200 dolar Singapura dan ikut seminar, ternyata saya ditipu. Lalu, saya ikut klub bisnis di kampus. Ada kompetisi tentang saham, simulasi modal, target, dan keuntungan. Meski hanya permainan, eh, saya menang. Ya sudah, saya mulai bermain saham betulan.
Penghasilan saya dan kekasih saya, Alva Christopher Tjenderasa, digabung sebagai modal. Sayang, kami hanya untung di awal. Lama-lama merugi dan terpaksa tutup akun. Saya dan Alva bertemu saat kuliah. Kami sekampus tapi beda jurusan. Saya teknik elektro, dia teknik mesin. Saya cerita pada dia, keinginan untuk menjadi sukses di usia muda. Pokoknya, saya harus nekat punya usaha apa saja untuk maju. Dia sangat mendukung.
Selanjutnya apa yang diperbuat?
Saya kapok ikut-ikutan, mendingan bisnis sendiri saja. Setelah meriset kebutuhan, saya rumuskan tiga hal, yakni modal, relasi, dan keterampilan. Saya tak punya ketiganya, tapi saya punya keberanian. Lalu saya pelajari kisah hidup para pengusaha sukses. Mereka memiliki satu kesamaan, yaitu diawali dengan berdagang atau menjadi tenaga sales .
Kebetulan ketika lulus tahun 2002, Pemerintah Singapura mengubah regulasi keuangan. Namanya FAA, Financial Advisers Act. Jika tadinya perusahaan asuransi hanya bisa menjual produk asuransi, maka diubah siapa pun bisa menjual jasa keuangan asal punya lisensi. Ini kesempatan yang sangat baik. Saya pun ikut tes untuk dapat lisensi. Lalu mulailah saya jadi financial consultant , menjual produk asuransi, tabungan, deposito, investasi, unitlink, dan credit card . Di situlah awal wirausaha saya berjalan.
Seperti apa tantangannya?
Orangtua tak setuju. Mereka ingin saya kerja kantoran, lebih mapan dan terjamin katanya. Saya minta waktu tiga bulan, bila gagal saya akan turuti keinginan mereka. Tapi bila berhasil, saya hanya ingin mereka ikhlas merestui.
Pasar yang terbuka luas membuat saya bisa menjual produk ke tiap orang dan perusahaan. Saya tawarkan ke teman-teman, tapi mereka sendiri belum berpenghasilan. Lalu saya ketuk satu per satu pintu apartemen. Ada yang ramah, banyak pula yang menolak mentah-mentah. Tak putus asa, saya telepon satu per satu nomor di buku telepon. Dari 100 yang saya hubungi hanya 1 orang yang setuju. Itu pun belum tentu beli. Karena tak efektif, saya nekat jualan di tempat-tempat ramai seperti mal, stasiun bus, MRT.
Anda, kan, sarjana, apakah tidak merasa malu?
Ya, meski one man show , cuek saja menawarkan produk-produk itu di jalanan. Saya kerja begitu keras. Kerja dari jam 8 pagi hingga malam hari. Istirahat hanya saat makan siang dan sore. Kalau ditotal, sekitar 14 jam per hari dan 7 hari seminggu non-stop. Dari setiap penjualan itu saya dapat komisi. Tak sia-sia, di tahun pertama saya dapat 200 ribu dolar Singapura (Rp 1,5 milyar). Wah, tak terkira bahagianya! Saya bisa membayar seluruh utang secara tunai. Bisa sewa kantor, rekrut karyawan, dan mendirikan Merry Riana Organization (MRO) tahun 2004.
Apa itu?
MRO adalah bisnis jasa keuangan. Saya mempekerjakan 50sales representative untuk financial consultant (FC). Saya duduk sebagai Group Director. Selama 7 tahun berjalan, rasanya beruntung sekali karena mampu membangun tim. Karena tak pegang penjualan lagi, saya fokus memberi training  pada mereka.
Selain itu, ada pula MRO Consultancy, yakni pelatihan untuk perusahaan, motivasi, dan penerbitan buku. Inilah fokus saya saat ini. MRO Consultancy berpusat di Singapura, tapi saya memberi pelatihan di Vietnam, Singapura, Malaysia, dan Indonesia. Ada yang untuk publik, sekolah, perusahaan.
Kini sudah sukses, ya?
Banyak orang mengira saya dengan mudah meraih 1 juta dolar Singapura Padahal itu adalah perjalanan panjang. Perubahannya bagi saya, jelas kini saya bisa menabung, investasi properti, bayar utang, punya rumah, dan mobil sendiri. Mungkin karena latar belakang keluarga juga, jadi saya tak suka berfoya-foya, ngirit  lah. Tadinya saya pikir sukses hanya seputar materi. Ketika materi sudah ada, saya mulai ingin mencari arti hidup. Ternyata sukses bukan diukur dari materi saja, tapi berapa banyak dampak positif yang bisa diberikan kepada orang di sekitar kita.
Apa pencapaian lainnya?
Di antaranya penghargaan sebagai pengusaha terbaik di Singapura (2008), salah satu wanita paling sukses dan inspiratif (2011), salah satu eksekutif paling profesional dari penampilan dan keahlian berkomunikasi (2010). Karena saya suka difoto, sempat juga jadi model iklan produk kecantikan Estee Lauder. Lalu jadi duta produk elektronik LG dan kamera Canon. Di Singapura, figur ambassador  jarang menampilkan artis karena yang dicari tokoh inspiratif atau entrepreneur .
Sejak kecil saya hobi nyanyi. Sempat bikin album rohani untuk bantu pendanaan gereja di Singapura. Lulus kuliah, saya bertunangan dengan Alva. Kami menjalankan bisnis bersama, lalu menikah tahun 2004. Setelah bisnis MRO berjalan stabil, tahun 2008 baru kami memiliki putri pertama, Alvernia Mary Liu. Anak kedua kami, Alivian Mark Liu lahir pada 15 Desember lalu.
Omong-omong apa, sih, cita-cita Anda dulu?
Insinyur Elektro seperti Papa. Sejak kecil saya senang tiap lihat beliau menyolder atau memperbaiki barang elektronik yang rusak di rumah. Seperti McGyver gitu , serba bisa. Ha ha ha... Papa, Suanto Sosrosaputro, dulunya karyawan yang lalu jadi dosen. Tapi kini punya usaha di bidang elektro. Sedangkan Mama, Lynda Sanin, adalah ibu rumah tangga.
Ada kiat agar perempuan Indonesia bisa punya kebebasan finansial di usia muda?
Tak semua orang harus bermimpi yang sama. Jangan cuma ikut-ikut tapi tak tahu apa yang diinginkan. Mimpi terbesar tak melulu soal materi. Jadi percaya saja pada mimpimu, jangan bandingkan dengan orang lain. Cara mencapai kebebasan finansial ada dua cara, intinya pendapatan dan pengeluaran. Bisa dapat penghasilan tanpa harus bekerja namun mampu mencukupi pengeluaran, itu baru disebut kebebasan finansial.
Trik lainnya, pengeluaran dikurangi atau pendapatan yang ditambah. Bila sekarang masih jadi pegawai, tidak masalah. Yang penting uangnya produktif bisa untuk ditabung, investasi, bisnis kecil-kecilan. Langkah terakhir, maksimalkan pendapatan dan dialokasikan ke pos-pos tabungan.
Masih adakah mimpi Anda yang lain?
Saya punya resolusi untuk memberi dampak positif pada 1 juta orang di Asia, terutama negara saya sendiri, Indonesia. Inilah wujud saya berbagi dan memberi. Karena itu mulai banyak kegiatan sepertitraining . Tapi karena sifatnya terbatas, saya pun menulis buku. Sebentar lagi buku MSD juga akan difilmkan, lho. Semangat memotivasi ini juga saya tularkan lewat social media , agar makin banyak yang terinspirasi. Mimpi terbesar lain, saya ingin punya program teve seperti Oprah Winfrey yang sarat inspirasi.

Ade Ryani/ Tabloid Nova