Islam menekankan nilai toleransi dan saling menghormati.Itulah hikmah
yang dapat kita ambil dari sepenggal kisah dari Imam Syafi’i.
Nilai-nilai tersebut tak hanya beliau ucapkan, melainkan juga beliau
praktikkan.
Perbedaan cara pandang serta praktik dalam furu’iyyah (fikih), sama
sekali tidak menghalangi Imam Syafi’i untuk menghormati pendahulunya,
yaitu Imam Abu Hanifah. Posisinya sebagai mujtahid dan imam madzhab,
sama sekali tidak menghalanginhya untuk beretika terhadap pendahulunya,
bahkan saat pendahulunya itu meninggal dunia.
Dikisahkan, suatu hari Imam Syafi’i melakukan ziarah ke makam Imam
Abu Hanifah. Beliau bermukim selama kurang lebih tujuh hari. Kala itu,
beliau membaca Alqur’an. Saat telah mengkhatamkannya, pahalanya
dihadiahkan kepada Imam Abu Hanifah.
Penghormatan itu tak hanya beliau wujudkan dengan menziarahi makam
dan mendoakan Imam Abu Hanifah, namun juga beliau ekspresikan dalam cara
beribadah. Hal ini dapat kita lihat dari sikap beliau dalam peziaraan
itu. Selama Imam Syafi’I bermukim dalam peziaraahan itu, beliau
meninggalkan do’a qunut dalam shalat subuhnya.
Mungkin bagi kita hal ini sangatlah aneh. Sebagaimana yang kita
ketahui, Imam Syafi’i merupakan Imam dari madzhab Syafi’iyyah. Madzhab
ini meyakini bahwa melakukan do’a qunut dalam shalat subuh hukummya
adalah sunnah muakkad (diprioritaskan), bahkan jika seseorang lupa
mengerjakannya maka dia dianjurkan untuk sujud sahwi.
Rasa aneh semacam itu, rupanya juga tidak hanya kita rasakan, namun
juga dirasakan oleh murid Imam Syafi’i. “Apa alasan Anda tidak melakukan
do’a qunut sewaktu berada di pemakamannya (Imam Abu Hanifah)?”
begitulah pertanyaan salah seorang muridnya. “Karena Imam Abu Hanifah
tidak menyunahkannya (do’a qunut) dalam shalat subuh, maka aku
meninggalkannya karena taadduban (beretika) kepadanya (Imam Abu
Hanifah).” Begitulah jawab Imam Syafi’i.
Itulah sepenggal kisah Imam Syafi’I yang dikutib oleh Syaikhuna
Hasyim Asy’ari dalam kitab at-Tibyan. Hal ini, sekaligus membuktikan
bahwa dalam beragama, selain legal-formal peribadatyan, ada hal yang
lebih prinsipil dan diprioritaskan, yaitu etika. Imam Syafi’I telah
mempraktikkan dan memberi contoh tentang hal itu. Lantas, masihkah kita
akan terus mebid’ahkan dan mengkafirkan orang lain?
Wallahu A’lam
[Disarikan dari kitab at-Tibyan, karya Syaikhuna K.H. Hasyim Asy’ari]